Kitakini.com - Kasus
cuci darah di
Indonesia terus mengalami peningkatan, terutama terkait dengan penyakit
ginjal kronik (PGK). Berdasarkan data BPJS Kesehatan 2024, tercatat
134.057 pasien yang menjalani prosedur cuci darah, dan angka ini belum termasuk pasien yang tidak terdaftar dalam BPJS.
Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), dr. Pringgodigdo Nugroho, menjelaskan bahwa peningkatan kasus ini dipicu oleh berbagai faktor risiko yang semakin meluas di masyarakat.
"Penyakit ginjal kronik sering kali tidak terdeteksi hingga fungsi ginjal telah menurun lebih dari 90 persen. Padahal, ginjal memiliki peran penting dalam menyaring toksin, mengontrol tekanan darah, dan menjaga keseimbangan mineral dalam tubuh," ujar Pringgodigdo, Kamis (13/3/2025).
Penyakit seperti hipertensi dan diabetes menjadi penyebab utama gagal ginjal yang mengharuskan pasien menjalani cuci darah. Selain itu, faktor lain seperti penuaan populasi, obesitas, kemiskinan, prematuritas, dan masalah lingkungan juga turut berkontribusi.
"Hipertensi dan diabetes adalah dua penyebab utama gagal ginjal. Namun, faktor seperti gaya hidup tidak sehat dan paparan lingkungan berbahaya juga perlu diwaspadai," tambahnya.
Meningkatnya angka gagal ginjal tidak hanya menjadi beban bagi pasien dan keluarga, tetapi juga bagi negara. BPJS Kesehatan mengeluarkan dana hingga Rp11 triliun pada 2024 untuk menangani pasien gagal ginjal.
"Biaya penanganan gagal ginjal sangat besar. Oleh karena itu, deteksi dini sangat penting untuk mencegah penyakit ini berkembang ke tahap yang lebih parah," tegas Pringgodigdo.
Pringgodigdo menekankan pentingnya deteksi dini untuk mencegah progresivitas penyakit ginjal kronik. Beberapa kelompok berisiko tinggi yang perlu melakukan pemeriksaan rutin meliputi:
Penderita diabetes dan hipertensi.
Pasien penyakit jantung dan obesitas.
Mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ginjal.
Individu dengan gangguan ginjal akut, penyakit autoimun, atau kelainan bawaan pada ginjal.
Data dan Prevalensi Penyakit Ginjal di Indonesia
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018, prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia mencapai 0,38 persen. Sementara itu, data registri PERNEFRI tahun 2022 mencatat insidensi kumulatif pasien yang menjalani dialisis sebanyak 63.498, dengan prevalensi kumulatif mencapai 158.929.
Untuk mengurangi beban penyakit ginjal, Pringgodigdo menyarankan langkah-langkah berikut:
Deteksi Dini: Pemeriksaan rutin bagi kelompok berisiko tinggi.
Pola Hidup Sehat: Mengontrol tekanan darah, gula darah, dan berat badan.
Edukasi Masyarakat: Meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan ginjal.
"Mencegah lebih baik daripada mengobati. Dengan deteksi dini, kita bisa memperlambat perkembangan penyakit dan mengurangi beban ekonomi serta sosial," pungkasnya.
Kasus cuci darah yang terus meningkat ini menjadi peringatan serius bagi masyarakat dan pemerintah untuk lebih memperhatikan kesehatan ginjal.